
Setiap daerah, kota bahkan sampai Negara umumnya memiliki tradisi yang masih dilakukan sampai sekarang ini. Sebut saja tradisi Rambu Solo di Toraja, Debus di Banten, Omed-Omedan di Bali hingga tradisi Onda Matsuri di Jepang yang mana semua tradisi tersebut diturunkan dari para leluhur dan masih terus dipertahankan hingga sekarang ini.
Tradisi memang telah menjadi sebuah budaya yang diturunkan dari para leluruh dan itu sudah mendarah daging bagi sebagian kalangan sekaligus menjadi daya tarik tersendiri bagi sejumlkah wisatawan. Sayangnya, tradisi yang awalnya dipercaya memiliki tujuan yang baik justru kadang disalahgunakan hingga jauh melenceng dari tujuan utamanya seperti 4 tradisi di bawah ini yang awalnya merupakan tradisi cari jodoh justru menjadi tradisi seks bebas, seperti apa kisahnya?
Tradisi Bomena
![[IMG]](http://s17.postimg.org/gitze7gzz/Tradisi_Bomena_Tradisi_Seks_Bebas_oleh_Segi_Empat.png)
Tradisi ini memungkinkan membuat para remaja di Bhutan terlibat seks bebas meski mereka tidak saling kenal sekalipun. Tradisi ini dikenal dengan istilah “night hunting” karena para pria ini melakukan “perburuan” di malam hari dalam bentuk kelompok. Mereka akan menyisir setiap rumah para remaja wanita khususnya bagi mereka yang tinggal di pedasaan. Jika salah satu diantara mereka menemukan gadis yang ia suka maka ia akan berusaha masuk ke rumah dan menyusup ke kamar si gadis. Disinilah kerap kali terjadi hubungan badan antara para pria dan para gadis remaja dengan alasan ritual. Tak heran banyak gadis di Bhutan yang hamil dan menikah saat masih remaja. Tapi tidak semua aksi para pria berhasil dengan mulus, karena banyak diantara mereka akhirnya tertangkap basah saat berusaha masuk ke rumah si gadis. Mereka yang tertangkap akan dihukum untuk bekerja di ladang atau menikahi si gadi.
Tradisi Gunung Kemukus
![[IMG]](http://s30.postimg.org/cs6ovpuep/Tradisi_Gunung_Kemukus_Tradisi_Seks_Bebas_oleh_S.jpg)
Ritual seks bebas yang terjadi di Gunung Kemukus ini sebenarnya berawal dari kisah seorang pangeran yang pergi mengasingkan diri di gunung Kemukus karena mengalami pergulatan batin yang hebat. Lama tak berjumpa dengan Ibunya, dengan kerinduan yang luar biasa pada si anak sang Ibu pergi menyusul si pangeran ke gunung Kemukus. Namun saat tiba rasa rindu mereka justru tidak seperti Ibu dan anak melainkan layaknya seperti pasangan kekasih. Untungnya sebelum terjadi hubungan intim keduanya dipergoki warga, penduduk setempat yang marah pun membunuh keduanya dengan cara dirajam. Sebelum meninggal si Pangeran yang bernama Pangeran Samudro sempat berpesan jika ada diantara mereka yang dapat melanjutkan hubungan intimnya selama 7 hari 7 malam maka dosa-dosanya akan ditanggung oleh mereka dan sebagai gantinya ia akan memberikan apapun yang ia inginkan.
Legenda tersebut pun menyebar hingga akhirnya menjadi sebuah tradisi yang dilakukan setiap malam Jumat Pon atau malam Jumat Kliwon dalam bulan-bulan tertentu. Kisahnya yang semakin menyebar membuat sejumlah orang dari luar daerah mulai berdatangan, awalnya mereka datang bersama pasangannya masing-masing demi mendapatkan “bantuan” dari si Pangeran. Namun seiring dengan perkembangan jaman, sejumlah kalangan justru memanfaatkan ritual seks tersebut dengan menyediakan sejumlah wanita yang akan membantu para pria dalam menjalankan ritual, hingga akhirnya gunung yang sebenarnya memiliki pemandangan alam yang indah tersebut justru berubah menjadi ladang prostitusi hingga seks bebas.
Tradisi Suku Kreung

Gubuk cinta menjadi istilah yang sangat melekat bagi suku ini, pasalnya setiap gadis remaja yang telah siap menjalin cinta akan tidur pada sebuah gubuk kecil yang membantu mereka menemukan pria yang ia cintai.Suku Kreung percaya jika cara tersebut merupakan cara terbaik yang akan membuat mereka mendapatkan cinta sejatinya yang akan berlangsung hingga ajal memisahkan mereka. Di gubuk tersebutlah gadis dari suku Kreung akan menunggu seorang pria untuk berkenalan dan bermalam semalam suntuk dengannya, dan jika si gadis tidak suka maka mereka hanya akan menghabiskan malam untuk berbicara dan tidur tapi jika ia jatuh cinta maka ia akan rela berhubungan seksual dengan si pria hingga mereka menikah.
Namun jika sepanjang hubungannya si gadis bertemu dengan pria yang lebih menarik dan ia berhenti mencintai pacarnya maka ia akan meninggalkan pacarnya untuk menjalin hubungan dengan pria yang baru termasuk berhubungan seks. Ritual seperti itu akan terus terulang sampai si gadis menemukan pria yang terbaik untuk jadi suaminya meski kadang ia sudah memiliki anak.
Tradisi Matriarchal
![[IMG]](http://s2.postimg.org/cmfc20wg9/Tradisi_Matriarchal_Tradisi_Seks_Bebas_oleh_Segi.jpg)
Suku Mosuo yang hidup di danau Lugu ini memang memiliki gaya hidup yang unik bagi masyarakatnya, bahkan salah satu gaya hidup yang sudah menjadi tradisi di suku ini adalah tradisi matriarchal. Tradisi ini merupakan gaya hidup yang memperbolehkan setiap wanita di suku ini berhubungan seks dengan pria manapun yang ia suka jika saat itu ia ingin memiliki anak. Wanita yang dianggap siap untuk memilih pria akan menunggu pria di sebuah kamar, jika si wanita tidak suka maka dia akan menolak dan mengusirnya tapi jika ia memilihnya maka si wanita akan berhubungan badan dengan pria yang ia pilih.
Suku Mosuo memang tidak mengenal istilah perzinahan, seks bebas bahkan pernikahan, setiap wanita yang dianggap sudah dewasa maka ia bebas memilih dengan siapa dia akan melakukan hubungan seksual. Sayangnya tradisi matriarchal ini justru kadang disalahgunakan oleh sejumlah turis, pasalnya tidak sedikit turis yang datang memang sengaja untuk mengambil kesempatana dan bercinta dengan wanita suku Mosuo karena selain dikenal punya paras yang cantik suku ini juga tidak mengikat para pria.
Tradisi dari setia suku di atas seharusnya tidak dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang memang hanya mengejar kepuasan. Terlebih bagi kita yang menganut budaya ketimuran yang sangat peka dengan hal-hal berbau seksual karena bertentangan dengan norma, adat dan keagamaan.